Jumat, 14 Oktober 2016

A Lonely Lotus

Sekuntum Bunga Teratai yang Sendirian



"I am longing for my Beloved. And my Beloved is longing for me."


Edisi 1


Sudah sejak lama dari zaman manusia kuno, bunga teratai menjadi simbol spiritual. Terutama teratai biru. Bagi saya, bukan karena ia mengandung zat bius dan dipercaya sebagai alat untuk mencapai kondisi trance, tetapi karena teratai sering tampak berbunga menyendiri di tengah kelopaknya yang besar.

Sekuntum bunga teratai yang sendirian.
Sekarang saya memahami filosofinya yang tersembunyi selama ini.


The Awakening
Kebangkitan

Manusia bagaikan tumbuhan, pada tingkat kesadaran dasar, mereka tidak akan mampu hidup sendiri. Mereka tumbuh berdekatan dan saling bergantung satu sama lainnya. Rumput dan ilalang adalah contohnya. Daunnya runcing dan panjang mudah ditiup angin, juga kering dan sangat mudah terpapar sinar matahari ataupun gesekan di antara mereka yang membakar. Mereka berusaha tampil kuat tetapi sesungguhnya sungguh lemah tak berdaya.

Di sini banyak ketidaktahuan. Tanpa pengetahuan, manusia tidak mengetahui apa yang tidak mereka ketahui. Bila pun ada pertanyaan, maka tidak ada yang mampu menjawabnya. seringkali bahkan pertanyaan-pertanyaan yang baik dicemooh, dihujat, dikecam, hingga dikucilkan.

Di sini manusia sangat mudah dialihkan perhatiannya. Sangat mudah dihasut, dan sangat mudah dipaksakan doktrin pada mereka yang diterima tanpa mampu bertanya apakah doktrin itu baik atau tidak untuk mereka. Hidup mereka dikendalikan sepenuhnya oleh iming-iming materi dan uang. Kasihan... sungguh kasihan...
“No problem can be solved from the same level of consciousness that created it.” 
-- Famous quote from unknown writer. 
(Tidak ada masalah yang dapat diselesaikan pada tingkat kesadaran yang sama dimana masalah itu dibuat.)

Masalah apa pun yang ditimbulkan di tingkat kesadaran dasar ini hanya mampu diselesaikan dengan menggunakan tingkat kesadaran yang lebih tinggi.

Seseorang di antara mereka yang mendapatkan sedikit hidayah atau pencerahan mengajukan pertanyaan. Namun ia mengetahui bahwa pertanyaan-pertanyaannya hanya dapat terjawab di tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Maka ia pun mengambil langkah yang tidak mungkin dilakukan oleh orang lain di tingkat kesadaran itu. Ia mendobrak doktrin serta dogma. Ia mulai membaca. Ia pun mulai berkelana mencari guru untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Ia belajar.
Inilah awal kebangkitan kesadarannya.

Perjalanan mendaki dari kesadaran rendah ke yang lebih tinggi tidaklah mudah dan tidak terjadi seketika. Dibutuhkan kegigihan, keteguhan dan niat yang tak goyah. Egonya berusaha menahannya untuk tidak melanjutkan perjalanan. Bahkan banyak tentangan dari orang-orang terdekat yang menahannya untuk tetap berada di bawah bersama mereka.

Bertahun-tahun dilaluinya dengan tekad kukuh dan kesabaran. Cobaan demi cobaan, jatuh-bangun dalam usaha, hempasan keras, terlempar jatuh, rasanya antara hidup dan mati. Ia mengalami Taubah.
Egonya runtuh dan tunduk beringsut menepi. Pandangan hidupnya berubah. Logikanya pun mulai berubah dari yang linear ke non-linear. Pola pikirnya menyesuaikan logikanya yang baru. Ia menjadi manusia baru.

Perlahan ia mulai memahami esensi kehidupan. Satu per satu tirai kesemuan tersibak dan ia masuk ke dalam ranah baru realita. Yang esensial dipegangnya, yang tidak esensial ditangguhkan. Tuhan adalah abundance, Maha Kaya, maka ia mulai melibatkan Tuhan di setiap langkahnya. Perlahan pula masalah dapat dilihat melalui kebijakan baru, dan satu-satu diselesaikannya dengan kesabaran.

Hatinya yang sebelumnya sekeras kayu, perlahan melunak. Hati yang melunak mulai merasakan yang tidak dapat dirasakan sebelumnya. Sebentuk bahasa yang halus yang kerap menyampaikan pesan padanya untuk selalu yakin akan jalan spiritual yang ditempuhnya ini. Ia merasakan Cinta dan Kasih Tuhan yang sangat besar melalui semua orang dan sepenjuru alam. Pagi hari disambutnya dengan kebahagiaan. Nyayian lembut angin dan burung berbicara padanya dalam kedamaian yang polos tanpa beban.


Lena Dunia Baru

Di sini, di ranah kesadaran baru, ia merasa telah meninggalkan kehidupan lamanya yang penuh hiruk-pikuk duniawi. Kadang ia menoleh ke belakang dan merasakan kerinduan. Di sini ia menemukan teman-teman baru yang berbeda dari teman-teman lamanya.

Hiruk-pikuk berkurang karena di sini mereka komunikasi dalam bahasa hati. Bahasa cinta dan kasih Tuhan. Tidak ada lagi aturan keras yang menjagai tindak-tanduk mereka karena secara alamiah semua bergerak bersama Tuhan.

Tidak jarang teman-teman lamanya datang padanya untuk bertanya, berkonsultasi dan sedikit merasakan siraman rohani darinya. Ia yang dulu mencari sekarang menjadi yang dicari. Pengalaman hidupnya adalah panutan bagi yang lain.

Bertahun-tahun telah berlalu, Ia terlena dalam dunia baru yang membahagiakan ini sampai suatu ketika ia mendapatkan cobaan lagi. Lenanya adalah cobaannya. Kala ke-awas-annya (awareness) lengah, ego bangkit menguasainya. Bangga diri kerena keberhasilan dan ketenaran menggantikan rasa rendah hati dan kesederhanaannya. Kayu hatinya mengeras kembali.

Rasa yang selama ini menjaganya menegurnya dengan keras, dan ia pun tersadar kembali seperti terpukul oleh palu yang sangat keras. Ia terjatuh, beringsut, tersujud malu akan kekhilafannya. Namun Ia merasa bersyukur dan beruntung karena tidak terlena terlalu jauh. Ia sadar kembali. Tetapi ini adalah masalah baru baginya, timbullah pertanyaan baru bagaimana ini bisa terjadi. Apa yang menyebabkan ini?

Ia pun kembali menekuni pembelajaran yang baru. Ia merenung, mencoba menelaah fenomena ini. Ia mencari guru dan mencoba mencari jawabannya. Setelah pembelajaran dan perenungan yang memakan waktu cukup lama, tahulah ia bahwa ini adalah konsekuensi dari eksistensinya berada di antara dua dunia.


Between Two Worlds
Diantara Dua Dunia

Berada di dua dunia adalah berada di antara duniawi dan akhirat. Batasannya sangat tipis bagaikan rambut dibelah tujuh. Pengetahuan spiritual dapat dengan mudah dibawa ke alam duniawi untuk digunakan memperoleh kepuasan dan kebanggaan. Pengetahuan duniawi juga dapat dengan mudah dibawa ke sisi spiritual bagaikan polusi yang mencemari.

Sering orang tidak sadar akan hal ini. Mereka merasa takjub akan perilaku energi dan sensasi yang didapatkannya. Hal ini memberi siraman segar kepada ego manusia yang kemudian tumbuh menguasai hati yang tadinya sudah lunak. Kejayaan duniawi dengan mudah merenggut nurani, rasa bangga diri dalam sekejap menggantikan kebersahajaan dan kesederhanaannya.

Baginya alam ini adalah pertempuran antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan salah, antara yang positif dan negatif. Mereka bersikukuh bahwa Tuhan hanyalah membawa kebaikan, sedangkan keburukan bukan dari Tuhan. Mereka menilai yang benar dari perasaan bahagia. Yang bahagia pastilah benar. Bila kau merasa sedih maka ada sesuatu yang tidak benar.

Dunia mereka hitam dan putih. Disadari maupun tidak, mereka telah menduakan Tuhan. Mereka lupa bahwa Tuhan itu Satu. Hitam dan putih adalah bagian dari Tuhan juga. Mereka merasa bangga akan pengetahuan mereka dalam berkalimat, berkata-kata, dalam mengobati, dan dalam memberikan pertolongan. Namun mereka senantiasa menghakimi yang baik dan yang buruk. Mereka tidak menerima Tuhan selayaknya Tuhan.

Eksis di antara dua dunia adalah menerima Tuhan sebagai Tuhan. Menerima Tuhan secara apa adanya, bukan Tuhan dalam definisi apa pun dan bukan dari yang disampaikan oleh siapa pun. Inilah hidup yang bukan berkoridor doktrin dan dogma, melainkan kebenaran yang hakiki.


The Knowing
Kepahaman

Ia tidak lagi menghakimi yang hitam dan yang putih. Kedua sisi eksis secara seimbang dan alamiah di dunia ini. Kebahagiaan dan cobaan adalah sama. Keduanya ia syukuri dengan ridho dan ikhlas. Ia mulai memahami bahwa ada sebentuk kesadaran yang melandasi semua yang ada di alam ini. Tidak ada satu pun yang terjadi secara kebetulan.

Alam semesta yang berlapis dan tak berhingga jumlah serta ukurannya adalah bagian dari konstruksi realita yang Maha Besar dan Maha Agung. Tidak ada satu pun eksistensi di alam ini yang ada karena acak. Mereka patuh pada sususan pola yang teratur nan Maha Agung. Dan semua ketakberhinggan itu mematuhi sebentuk kesadaran, Kesadaran illahi.

Kutipan dari Diary 46:
Jika kau adalah makhluk hidup yang sangat kecil. Kau hidup di dalam sebuah sel. Sel adalah alam semestamu. Dan kau tidak mampu menemukan tepian alam semestamu karena alam semesta ini begitu luasnya dan kau tidak sadar akan tapal batasnya. 
Lalu kau belajar. Belajar dan belajar hingga kau menemukan petunjuk bahwa alam semestamu adalah satu sel yang ada di antara tak hingga jumlah sel yang ada selain sel alam semestamu yang kau diami sekarang. 
Ketakjubanmu akan kemungkinan bahwa alam semestamu adalah alam semesta parallel kemudian berubah menjadi sebuah pertanyaan, "Mengapa ada banyak sel?" 
Bagaimana kau harus menjawab ini? Tidak ada satu pun ilmu sains yang kau pelajari yang mampu menawarkan jawaban padamu.Kecuali satu, yaitu ilmu spiritual. Lalu kau menekuni ilmu itu. 
Bertahun kemudian kau mulai menyadari akan adanya sebentuk kesadaran yang meliput seluruh realita. Tidak hanya di dalam alam semestamu, tetapi juga seluruh alam semesta yang ada. Bermilyar-milyar sel itu ada bukan kebetulan, tetapi ada karena tujuan tertentu. Dan keberadaan mereka dilandasi oleh Sebentuk Kesadaran.

Lalu kau bermaklumat, "Bila aku dapat memahami Kesadaran itu, maka aku dapat memahami mengapa alam ini ada." 
Inilah "Kesadaran illahi."Ada sesuatu yang mengatur semua eksistensi dari semua yang ada. Keberadaan semua itu adalah bagian dari konstruksi realita. Tanpa satu saja, maka konstruksi tidak sempurna dan realita ini tidak pernah ada. 
Semua sel-sel ini adalah bagian dari Satu Kesadaran. Setiap sel adalah bagian dari struktur yang lebih besar. Kau tidak akan mengetahui bentuk struktur yang Maha Besar itu, akan tetapi kau tau Yang Maha Besar itu mengayomi realita ini dengan Kesadaran-Nya. Dan tidak ada yang diluar dari-Nya. Semua ada di dalam satu Struktur itu.

Ia tidak hanya tahu, tetapi juga paham akan realita alam ini. Ia memahami hal yang paling mendasar. Bertahun-tahun lamanya ia bertanya 'mengapa alam ini diciptakan?' sedikit demi sedikit mulai terjawab. 

Semua alam ini eksis di dalam yang Maha Satu. Setiap manusia adalah bagian dari yang Maha Satu. Semuanya adalah Satu. Satu titik di alam ini tidak ada yang tidak berarti. Setiap titik di alam ini membawa informasi dari yang Maha Satu, bagaikan setiap untaian DNA di tubuh manusia yang membawa semua sifat manusianya, begitu pula dengan setiap bagian di alam ini membawa DNA Sang Penciptanya yang Maha Satu.

Sikapnya menjadi berubah. Ia seperti terlahir kembali. Kini pandangannya terhadap dunia meliputi semua sisi, semua kutub. Dinding di sekelilingnya runtuh. Tanpa batas. Semua tirai tersibak dan menghadirkan pemandangan alam yang polos apa adanya. Dan ia menyaksikan keindahan sejati. Suatu ranah kesatuan, kemanunggalan. Indah yang bukan lawan dari buruk. 

Ia melihat yang tidak terlihat sebelumnya. Ia melihat wajah Sang Pencipta di setiap makhluk. Senyuman dari orang lain adalah bahasa cinta kasih-Nya. Dan ia pun menyampaikan bahasa yang sama kepada semua makhluk.
Ia merasakan cinta yang bukan lawan dari benci. Ia merasakan damai sejati.
Hanya ada rasa syukur.

Kutipan dari Diary 44:
"Appreciation" (Penghargaan) 
Ya Tuhan, kupanjatkan syukur sedalam-dalamnya atas setiap detik kehidupan yang telah kulalui. Semuanya baik dan sesuai. 
Ya Tuhan, kupanjatkan syukur sedalam-dalamnya atas setiap jengkal langkah hidupku. Semuanya baik dan sesuai. 
Ya Tuhan, kupanjatkan syukur sedalam-dalamnya atas setiap tarikan dan hembusan nafasku. 
Ya Tuhan, kupanjatkan syukur sedalam-dalamnya atas setiap pandangan yang ada di hadapanku.

Ya Tuhan, kupanjatkan syukur sedalam-dalamnya atas semua yang Kau ciptakan. 
Kau menemaniku. Kau tunjukkan jalan yang baik dan sesuai untukku. Kau tegur aku dalam cobaan dan kebahagiaan padaku, kurasakan belaian kasih-Mu padaku setiap saat. 
Harapanku pupus sejak ku mengenal-Mu. Sudah kutukar semua bentuk harapanku dengan rasa syukur.

Sudah kutukar rinduku pada dunia dengan kerinduan-Mu padaku. Duniaku terasa sangat luas seperti luasnya cinta-Mu padaku.
Aku tenggelam di dalam lautan cinta-Mu yang tanpa tepi dan tanpa dasar. Kau matikan aku sebelum matiku.
Tidak ada yang lebih berarti di dalam hidup ini selain keberadaanku bersama-Mu. Hari-hariku kau hadirkan senyuman-Mu melalui orang yang tersenyum padaku. Kau pun tersenyum pada mereka melalui senyumanku. 
Pipimu yang halus, rambutmu yang menghiasi mahkotamu, matamu yang indah berbinar... Cantiknya dirimu. Agungnya dirimu. Bahagianya diriku berada bersamamu. 
Aku bersyukur sekarang dan selalu.


Emptiness
Kekosongan

Perjalanan untuk memahami yang hakiki tidaklah mudah dan cepat. Dan tidak banyak orang mampu mencapainya. Ia sekarang tidak lagi berada di atas perahu, tetapi ia sudah masuk ke dalam sungai dimana perahu itu tadinya berlayar. Inilah aliran sungai Kesadaran illahi. Mengapung, melayang, ataupun tenggelam di dalamnya tidaklah relevan. Karena dia sudah bersama-Nya.

Semakin tinggi gunung didaki, semakin banyak orang yang tertinggal di bawah. Semakin sedikit yang berada di atas. Dan hampir tiada siapa pun di puncak gunung itu. 

Inilah yang ia temukan di kedalaman sungai. Inilah yang ia temukan di puncak gunung. Tiada apa pun di sini. Tiada seorang pun di sini. Kosong.

Karena, tidak ada yang mampu memahaminya. Tidak ada yang mampu ia tanyai lagi. Ia sendirian di sini. Hanya ada dirinya dan Tuhan.







"Tuhan adalah Zat Yang Maha Esa. Maha Satu.
Tiada lainnya selain Tuhan. Tiada apa pun selain Tuhan.
Dia adalah Zat Tunggal. Dia adalah Zat Yang Sendirian."



Pada awalnya hanya ada Zat Yang Singular.
Kemudian dari-Nya -lah dan pada-Nya -lah tercipta seluruh alam ini.
Kini kau memahami.

Kau menyelam ke dalam sampai ke dasar. Kau mendaki sampai ke puncak.
Kau memahami sebentuk kekosongan. Hanya dirimu sendiri di sini. Tiada yang lain.
Karena tidak ada seorang pun yang mampu.

Di sini kau hanya seorang diri. Kau sendirian.

Dari kesendirian itu kau merasakan kekosongan. Kehampaan.
Kekosongan itu adalah rasa sepi. Sepi yang menusuk.

Lalu kau tersungkur, jatuh, tak kuasa menahan rasa sepi yang menusuk ini.
Kau berteriak, kau menangis, kau merintih. Pedih. Sedih.
"Ya Tuhan, mengapa aku merasa tersiksa seperti ini?"

Sejenak kau tertegun...
Kau bagaikan sedang berada di hadapan cermin. Namun cermin ini bukan memantulkan gambarmu. Ia memantulkan rasamu.
Kesepian itu berubah menjadi rasa yang lain.
Kesepian itu terpantul kembali padamu sebagai kerinduan.

Di sini, di kehampaan ini hanya ada Kau dan Dia.
Dia adalah cermin bagimu. Dan kau merasakan Kerinduan-Nya.

Dia adalah Yang Sendirian, Dia adalah Yang Sepi. Dan Dia-lah Yang Merindukan.

Di sini, di kekosongan ini, hanya ada dirimu dan Tuhan.
Dia-lah sebab dari kesendirianmu.
Dia-lah sebab dari sepi yang menyiksamu.

Karena Dia-pun Sendirian di sini.
Kau hadir untuk-Nya. Dan Dia ada bagi-Mu.
Kekasih yang merindukan.


"Karena tidak ada yang memahamimu selain Aku. Dan tidak ada yang memahami-Ku selain kamu.
Dan kau merasakan kesendirian-Ku menantimu."






Kau merasakan kesendirian yang sepi.
Rasa yang menyiksa sekaligus membahagiakan.

Kau hidup di antara air dan udara. 
Akarmu di dalam air tenggelam dalam tak berdasar.
Dan tubuhmu di udara menjulang ke angkasa tak berbatas.

Kau tumbuh sendirian.
Kau cantik menawan. Gagah rupawan.
Mewangi menghiasi luasnya alam.

Kau tumbuh sendirian tanpa ada satu pun yang menemani.
Kau merindu menantikan kekasih yang memahami.

Selama itu kau menunggu, selama itu kau tumbuh berkembang.
Tebaran cinta dan kasihmu tiada berkurang.

Kaulah sang merindu dan yang dirindu.
Kekasihmu akan datang, mendengarkan panggilan.
Kekasihmu akan datang, dan kau tak kan lagi kesepian.

Tetaplah berkembang,
Sekuntum bunga terataiku yang sendirian.



---------------
Erianto Rachman

Tidak ada komentar: