Jumat, 20 Juni 2014

Sekala & Niskala





Baru-baru ini saya melakukan perjalanan ke daerah bagian tengah Indonesia. Di perjalanan saya menemukan sebuah buku yang berjudul "Sekala & Niskala" oleh Fred B. Eiseman, Jr. Judul lengkapnya adalah "BALI; Sekala & Niskala, Essays on Religion, Ritual, and Art". Diterbitkan tahun 1990. 376 halaman. Buku ini pada awalnya terdiri dari tiga bagian. Kemudian digabung menjadi satu buku, yang saya miliki sekarang ini. Gambar pada sampulnya sangat menarik perhatian dan mengundang saya untuk membeli dan membaca buku ini.

Saya langsung membaca kata pembuka (Introduction) di awal buku ini. Di situ saya mengerti apa yang dimaksud dengan Sekala dan Niskala. Sekala adalah sesuatu yang terlihat. Sedangkan Niskala adalah sesuatu yang tidak terlihat. Buku ini mengulas dengan sangat detail mengenai kebudyaan masyarakat Bali. Fred Eiseman memulai penelitiannya di pulau Bali sejak tahun 1961. Ulasannya megenai Agama dan Kepercayaan, Budaya, serta Seni masyarakat Bali sangat lengkap dan informatif. Saya belum selesai membacanya dan tulisan saya ini tidak akan membahas isi buku tersebut. Saya sungguh tertarik dengan judulnya, dan memutuskan menggunakan judul yang sama untuk tulisan saya kali ini.

Di bab awalnya, Fred menuliskan bahwa agama masyarakat Bali mempercayai kekuatan baik dan buruk. Pengkutuban yang sering juga kita jumpai di semua ajaran agama di bumi ini. Namun seperti pada beberapa ajaran lain, seperti Hindu dan Buddha, yang memperkenalkan adanya satu kekuatan lain yang tidak memihak pada salah satu kutub-kutub tersebut. Kekuatan ini ada di tengah. Ia mengakui adanya kutub baik juga mengakui adanya kutub buruk, namun tidak memihak ke salah satunya. Katakanlah kutub ketiga. Ia berada di tengah. Mengakui dan mengenali kutub-kutub di kanan dan di kiri, baik dan buruk, tapi tidak memihak ke salah satunya. Ia adalah kutub di tengah, penjaga keseimbangan. Oleh karena itu maka kehidupan religi dan keseharian masyarakat Bali selalu menganut tiga aspek. Tiga aspek ini terlihat dari cara mereka membagun tempat ibadah, tiga dewa utama, pembagian tubuh manusia menjadi tiga, pengaturan letak kuil di sebuah desa dan rumah, dan lain sebagainya. Ke-tiga-an ini yang disebut dengan Tri Hita Karana.

Sesaat setelah membaca kata "Tri Hita Karana" tersebut, tubuh saya bergetar, mata saya terpejam, dan selama beberapa detik saya menyaksikan diri saya sendiri yang sedang membaca tulisan yang sama. Dejavu! Saya pernah mengalami hal ini sebelumnya! Hati saya tersiram cahaya Illahi yang hangat dari ujung kepala. Selama beberapa waktu saya tidak bisa bergerak, sampai pemandangan dejavu itu selesai. Saya kembali meneruskan membaca buku yang sangat menarik itu.

Namun, apa yang saya ingin tuliskan di sini bukanlah isi dari buku itu. Saya sangat tertarik dengan judulnya dan seperti ada pertanda (omen) setelah mengalami dejavu itu, untuk menulis sesuatu.

Pengkutuban di alam ini adalah sesuatu yang mendominasi kehidupan dan perilaku manusia. Kita selalu merasa diharuskan untuk memilih antara kanan dan kiri, atas-bawah, baik-buruk, gelap-terang, dan seterusnya. Ketenangan hati tidak terjadi dengan memihak pada salah satu kutub. Di tulisan saya sebelumnya saya mengatakan bahwa "rasa" di hati yang sesungguhnya berasal dari Tuhan (atau bahasa Tuhan) hanya akan datang pada hati yang bersih. Kebersihan hati adalah hati yang tidak mengkutub, tidak memihak pada salah satu polarity, duality. Hati yang bersih adalah hati yang tidak terpengaruh pada duality dunia. Hati yang terlepas dari keduniawian menjadikan hati itu murni, dan ia akan serupa sebuah mahkota bunga teratai yang membuka - berkembang. Keterbukaan hati ini akan membuatnya dapat dimasuki cahaya Illahi yang ada di seluruh alam ini. Cahaya Illahi adalah suatu ingredient atau bahan dasar penciptaan alam semesta ini yang memiliki sifat dasar Ketuhanan, yang tak tampak, yang terselubung dibalik polarity dan dualisme hasil dari penciptaan itu sendiri.

Hati yang bersih murni seperti yang saya deskripsikan di atas bukanlah hati yang kemudian menjadi tidak sensitif terhadap duality. Justru ia akan sangat mengenali duality itu. Ia akan sangat dapat merasakan pengaruh kanan dan kiri, baik-buruk, gelap-terang, dst, namun ia hanya cukup mengetahui dan merasakannya saja tanpa membiarkan pengaruh itu masuk ke dalamnya. Hati ini akan menjadi sensitif, bahkan sangat sensitif terhadap perubahan sekecil apapun di sekelilingnya, baik yang tampak dan tak tampak oleh mata fisik kita.

Ketika saya memasuki wilayah kunjungan saya, saya berhenti sejenak untuk menghirup udara, merasakan aroma yang ada di udara, mendengarkan suara orang, suara mesin, suara alam, burung, debur ombak, dan deru angin, merasakan cahaya yang masuk dari pelupuk mata, hangatnya sinar matahari yang menyentuh kulit. Setelah saya mengetahui apa yang ada di sekeliling saya, semua itu kemudian menghilang, senyap. kosong, tenang. Hanya ada saya dan hati ini. Saya berniat untuk mencari cahaya illahi yang ada di alam ini, kemudian membiarkannya memasuki hati ini. Dan saya tersenyum seraya berkata, "semoga semua makhluk, hidup berbahagia."

Jika hati anda cukup terbiasa melakukan hal itu dan menjadi cukup sensitif karenanya, maka anda akan merasakan balasan dari alam kepada anda. Seperti senyuman balasan kepada anda. Sambutan hangat atas kedatangan seorang yang sadar akan keberadaan mereka yang Illahi. 

Sesampainya di tempat peristirahatan, saya menyempatkan untuk duduk di atas pasir pantai untuk melakukan hal serupa seperti di atas. Saya berterima kasih, bersyukur sedalam-dalamnya kepada Tuhan dan seluruh alam ini atas kebahagiaan dan ketenangan hati yang saya rasakan 'sekarang'. Debur ombak terdengar sebagai nyanyian dan lantunan musik terindah yang disuguhkan oleh alam kepada saya. Deru angin adalah belaian lembut yang penuh rasa kasih-sayang kepada saya. Burung-burung pun merasakan hal yang sama, mereka berkicauan di sekeliling dengan sangat indahnya. Saya tersenyum dan lagi berucap, "semoga semua makhuk hidup berbahagia."

Bila anda terbiasa melakukan seperti di atas, anda akan terlupa akan jalannya waktu. 30 menit, 1 jam, tidak akan anda rasakan lagi. Anda akan tau secara alamiah kapan waktunya untuk berhenti dan melanjutkan kegiatan duniawi anda. Semua terjadi seketika, bersamaan, di waktu -sekarang-. Tuhan adalah zat yang tidak terikat ruang dan waktu. Bagi-Nya, semua kejadian terjadi di waktu yang bersamaan sekaligus. Ia menyaksikan segalanya. Tidak ada dulu, tidak ada nanti. Semuanya adalah 'sekarang'.

Senja semakin dekat. Kedua energi yang menghuni setiap kutub biasanya paling aktif menjelang senja. Saat itu adalah waktu yang tepat untuk mengakui adanya pengkutuban dan memposisikan diri kita untuk tetap berada di tengah. Akui. Amati. Kemudian berilah salam pada mereka. Energi diri kita tidak bersinggungan dengan energi mereka. Semua hidup berdampingan dalam kedamaian Illahi. Dengan menyebut suara Tuhan (OM), maka rasakan kedamaian pada alam (Shanti), kedamaian pada sesama makhluk hidup (Shanti), dan kedamaian di dalam diri ini (Shanti). Biarkan semua makhluk, hidup berbahagia. Tidak ada sikap yang lebih baik untuk menyikapi rasa yang teramat indah ini selain dari tersenyum.

Jika anda sudah menyadari akan hal ini, maka anda akan tau dan sadar penuh mengenai segala sesuatu yang tampak (Sekala) dan yang tak tampak (Niskala). Allah Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Dengan hati yang bersih dan murni, anda akan me-rasa-kan-Nya di setiap saat.


ER

1 komentar:

YUDI mengatakan...

Saya sendiri yang umat hindu setelah membaca ini menjadi sedih bahagia dan merinding lagi hahaha, berulang kali saya melakukan hal yang sama seperi artikel yang anda buat, dan memang rasanya damai sekali, untuk seukuran anak muda seperti saya skrngg sangat susah mengkontrol emosi dan setelah emosi hanya melukai diri sendiri ,Konsep tri Hita karana ini sudah hal yang paling terbaik untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan duniawi , tentunya saya juga bisa merasakan banyak hal yang berubah. Nicepost gan !!