Rabu, 09 Desember 2015

The New Atlantis





Part 1

Edisi 1.5


Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat

Ketika artikel ini saya tuliskan, saya sedang duduk di lobby sebuah hotel di kota Malang, bersama DR Carmen Boulter. Kami baru saya menyelesaikan perjalanan kami di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, mengunjungi situs-situs tua di pulau Jawa.

Saya dan DR Carmen Boulter, di Malang, Jawa Timur.
DR. Carmen Boulter adalah seorang Archeologist dan Linguist dari Canada yang membuat 5 episode film dokumenter "The Pyramid Code" yang telah saya buatkan subtitle bahasa Inggris dan Indonesianya dan pernah saya adakan nonton bersamanya di group Human Earth ini (http://human-earth.blogspot.co.id/2014/11/the-pyramid-code-movie-watch.html). The Pyramid Code telah membuka pandangan saya dan beberapa orang teman di sini dalam melihat peradaban manusia di masa lalu dan masa depan. Adalah sebuah kesempatan emas untuk dapat bertemu DR Carmen secara langsung, dan menyatakan rasa takjub saya terhadap film tersebut.

DR Carmen sedang melakukan pengambilan video untuk film terbarunya "The New Atlantis" yang akan diterbitkan bulan July tahun 2016. Ia sudah melakukan perjalanan ke berbagai di penjuru dunia untuk meliput berbagai situs-situs tua, seperti piramid di Bosnia, situs temuan baru di Hawara, Mesir, Chichen Itza, Teotihuacan, Mexico, pulau Bimini, dan banyak lainnya. Ia telah melakukan perjalanan ke 27 negara di tahun 2015 ini saja untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk film terbarunya.
Catatan: Judul artikel ini saya namakan The New Atlantis tidak ada hubungannya dengan film terbaru DR Carmen Boulter nanti. Beliau sama sekali tidak memberikan informasi apapun mengenai filmnya tersebut. Saya sangat menghormati DR Carmen dan tidak ada maksud untuk menjiplak atau mendahului karya beliau dalam bentuk apapun.

Sambil ditemani lantunan musik perjalanan spiritual dari seorang yang sangat saya hormati dan saya sayangi, sang penyhir. Gemericik air kolam pun turut menambah damai suasana minggu pagi hari ini. Saya baru saja selesai menelpon keluarga di rumah untuk memberi kabar bahwa saya akan kembali bersama mereka dalam beberapa jam lagi, sepulang saya dari perjalanan ini. Tulisan ini adalah sebuah kisah kasih dan cinta, dalam gelombang spiritual antara sesama manusia dan seluruh alam.

"Penyampai Pesan" adalah judul lagu yang sedang saya dengarkan sekarang. Rambut-rambut kecil di sekujur tangan dan tengkuk bergidik mendengarkan lagu yang memancarkan energi magis ke dalam telinga, jemari saya berusaha menyalurkan energi itu ke bentuk tulisan ini.

Saya ikut serta bersama rombongan Ancient Mysteries International (AMI) di jakarta, yang dipimpin oleh Bruce Cunningham dari Amerika. Bruce dan saya sekarang menjadi teman dekat karena perjalanan ini. Kami menyewa minibus yang membawa kami dari Jakarta ke Cianjur, menginap semalam di Cianjur yang kemudian dilanjutkan menuju Gunung Padang. Sebuah situs megalitik yang dipercaya menawarkan banyak pertanyaan kepada siapapun yang mengunjunginya. Perjalanan dari Jakarta ke Cianjur sangat lancar tanpa kendala apapun, kami berhasil menghindari padatnya jalur utama - Cipanas. Perjalanan kami dipenuhi diskusi panjang mengenai film The Pyramid Code, dan pengetahuan-pengetahuan baru yang disampaikan oleh DR Carmen, yang sangat menakjubkan dan menambah wawasan yang tidak mungkin didapat dari membaca buku saja. Seberapa banyaknya buku yang sudah saya baca tidak bisa menandingi pengetahuan yang saya dapatkan dari percakapan kami.

Yang juga ikut serta dalam perjalanan ini adalah: Dixie, istri dari Bruce Cunningham; Dhani Irwanto, seorang peneliti (researcher) dan penulis buku "Atlantis, The Lost City is in Java Sea"; Linda; dan dari group Human Earth adalah Hilmy Hasanuddin, Evie Casino, dan Chris Yusuf.

Kami tiba di pinggiran kota Cianjur sekitar pukul 6 sore, dan menginap satu malam di sebuah hotel yang sudah dipesan untuk rombongan kami oleh seorang yang akan menjadi Pemandu kami, yaitu DR Danny Hilman Natawidjaja. Pak Danny Hilman adalah tokoh penting dari tim peneliti situs Gunung Padang yang mendapat izin langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kami menghabiskan malam itu dengan menikmati makan malam khas Sunda dan berbincang-bincang di beranda lantai 2 di hotel itu hingga larut malam. Seorang teman baru dari Bali juga tiba di hotel yang sama hari itu, yaitu Tom (asal Amerika) dan istrinya Hale (dari Bali). Perbincangan kami malam itu sangat seru karena kami saling berbagi cerita mengenai minat masing-masing akan Ancient Msyteries, yang pada akhirnya mempersatukan kami di tempat ini. Tak terasa, berkantung-kantung camilan khas lokal dan beberapa botol minuman habis. Kami pun beristirahat.

Hilmy dan DR Carmen sedang menyiapkan Kamera di tepi kebun teh.

Keesokan paginya, pagi-pagi sakali, saya sudah melihat DR Carmen di ruang makan sedang serius melakukan pengecekan terhadap kamera-kameranya. Setelah sarapan, kami check-out dari Hotel dan langsung menuju lokasi situs Gunung Padang. Perjalanan ditempuh sekitar satu jam dengan memasuki wilayah pedesaan dengan jalan kasar yang kecil dan berliku-liku. Hutan, lahan perkebunan, tebing dan jurang di kanan dan kiri menemani perjalan kami. Kami berhenti sejenak di tepi perkebunan teh untuk mengabadikan pemandangan ini dalam kamera video, yang nantinya dibutuhkan untuk film.

Beberapa menit kemudian kami tiba di lokasi dan disambut oleh DR. Danny Hilman Natawidjaja. Kami saling berkenalan dan melakukan koordinasi mengenai bagaimana jalannya kunjungan ini, yang akan dipimpin oleh Pak Danny Hilman langsung, sekaligus dilakukannya pengambilan video.

Semua yang hadir dari pihak rombongan kami maupun pihak tim Pak Danny paham bahwa kunjungan ini bukan kunjungan biasa, melainkan bagian penting dari pengambilan video yang akan digunakan di dalam film. Seluruh narasi dan wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris. Setelah kira-kira satu jam melakukan persiapan di pos bawah, kami pun mulai melakukan pendakian.

Di kaki anak tangga tua yang akan kami daki, kami melakukan ritual khusus di tepi sebuah sumur tua yang mengalir di dalamnya mata air. Setelah membasahi muka dan meminum seteguk air sumur, kami menaiki tangga. Ada sekitar 300-an anak tangga dengan kemiringan 45 derajat. Sepanjang pendakian Pak Danny menjelaskan serta menunjukkan hal-hal menarik yang patut mendapat perhatian, seperti lubang-lubang berbentuk lingkaran pada batu-batuan yang diduga pernah digunakan sebagai pengunci antar batu (interlocking mechanism) seperti yang juga ditemui di situs-situs kuno di Mesir dan Bolivia.

Setelah mendaki tangga yang tinggi dan sangat melelahkan, ditambah pula saya harus selalu berada di depan para rombongan untuk melakukan pengambilan video dan memastikan setiap ucapakan Danny Hilman terekam dengan baik. DR Carmen mempercayakan kamera utama dan pengambilan video kepada saya dan mengingatkan bahwa gambar yang bergoyang akan dinyatakan gagal dan tidak akan digunakan. Sementara kamera Go-pro dipercayakan kepada rekan saya Hilmy Hasanuddin.

Kami tiba di puncak, yaitu teras-1. Ketinggian Gunung Padang adalah sekitar 885 m dari permukaan laut dan mencakup wilayah seluas kira-kira 900 m2. Situs ini terdiri dari 5 Teras. Di setiap teras dapat terlihat bebatuan vulkanik Andesit Kolom yang sudah terpotong-potong. Posisi mereka ada yang tertumpuk rapih. Ini dapat di lihat di samping atau dinding teras. Namun pada permukaan teras mereka tampak tidak teratur, seperti reruntuhan akibat bencana alam. 

Teras-1 berukuran kecil. Kami langsung menuju teras-2 yang lebih luas. Saat itu sekitar pukul 10 pagi dan sinar matahari sudah mulai memanas menyentuh kulit kami. Peluh membasahi wajah dan pakaian. Kami berteduh di bawah pohon besar sambil mendengarkan penjelasan Pak Danny. Saya tetap harus meliput semua yang terjadi, memastikan mengabadikan seluruh perjalanan dan cukup materi (footage) untuk film. Kami mencoba menerbangkan kamera quad-copter atau drone untuk meliput video dari udara. Namun, Uce, salah satu anggota tim dari Pak Danny mengatakan untuk tidak menerbangkan drone dari teras-2 karena medan magnet yang cukup kuat dan pernah ada tiga drone hilang karenanya. Sehingga kami hanya menerbangkan drone dari dan di atas teras 3, 4, dan 5.

Di teras-2. Kiri: dari teras-2 melihat ke teras-3. Tengah: DR. Carmen memberi pengarahan kepada saya dan Hilmy. Kanan: Mendengarkan penjelasan dari Pak Danny.

Kiri: Saya dan DR. Carmen Boulter. Tengah: Saya dan Dhani Irwanto. Kanan: Pak Danny Hilman memberikan penjelasan melalui gambar hasil penelitiannya di situs ini (Kika: Bruce Cunningham, Chris Yusuf, Evie Casiono, Saya, dan Danny Hilman).


Kami melanjutkan perjelanan ke teras-3. Di teras-3 Pak Danny mengeluarkan dua lembar kertas besar berisi gambar dan diagram. Pak Danny sudah mempersiapkan segalanya untuk kunjungan ini. Dijelaskan olehnya mengenai penggalian yang dilakukan timnya dari tahun 2012 hingga 2014 (sampai semua penelitian di Gunung Padang dihentikan oleh Presiden Joko Widodo). Hampir seluruh tanah di bawah teras-teras tersebut berisikan batuan yang sama dengan yang di permukaan. Batu andesit-kolom (Columnar Joint Andesite ) secara alamiah berasal dari gunung berapi, maka ia banyak ditemukan di dekat gunung berapi (vulcanic), alamiahnya berposisi vertikal. Di situs Gunung Padang ini bebatuan itu sudah dipotong-potong dengan panjang relatif sama dan disusun atau ditumpuk horisontal, yang mengindikasikan bahwa situs ini adalah buatan manusia.

Di gambar lain diperlihatkan penggalian yang cukup dalam. Penggalian menghasilkan petunjuk adanya 3 lapis tanah buatan manusia yang membentuk situs ini. Di bawah lapisan-lapisan itu adalah lapisan tanah alamiah (bukan buatan manusia). Sehingga dapat dibayangkan bahwa zaman dulu, manusia menumpuk batuan andesit-kolom secara horisontal dan rapat, merekatkan satu sama lainnya dengan semacam semen yang terbuat dari campuran bahan alamiah khusus, juga ditemukan banyak pasak-pasak terbuat dari batu yang berukuran lebih kecil dan dibentuk meruncing untuk mengencangkan sambungan antara batu, lalu mengubur/mengurugnya. Bertahun-tahun kemudian Dilakukan kegiatan serupa di atas lapisan tadi, dan mengubur/mengurugnya. Diulangi bertahun-tahun kemudian kegiatan serupa pada lapisan teratas, dan mengubur/menutupnya dengan tanah.

DR Danny Hilman dan tim telah melakukan penggalian yang mencapai seluruh lapisan, dan mengambil sample bahan organik yang terjepit diantara bebatuan yang tersusun rapat itu untuk dilakukan taksir usianya dengan metode Carbon-14 dating di beberapa laboratorium. Dari hasil taksiran didapati setiap lapisan berbeda usia. Yang tertua adalah pada lapisan terbawah, yaitu sekitar 22,000 tahun. Dari hasil scan dengan Ground Penetrating Radar telah terdeteksi adanya cavity atau chamber, atau rongga-rongga ruangan di bawah tanah. Kami sungguh terkesima mendengar penjelasan dari Pak Danny. Timnya sudah melakukan hampir semua yang mungkin dilakukan dan banyak yang ditemukan di sana, seperti artefak-artefak diantaranya adalah sekeping koin kuno, dan batu pasak yang berbentuk kujang, yaitu seperti pisau, senjata khas masyarakat Jawa Barat. Namun tidak ditemukan adanya relief di sana.

Pada teras-3 terdapat pohon besar yang menghasilkan getah khusus yang kita sebut sebagai kemenyan, atau Frankincense. Frankincense merupakan tanaman yang sangat langka di dunia dan sempat memiliki nilai yang sama dengan emas, jika anda mengikuti sejarah Mesir, Sudan, kisah Nabi Sulaiman, dll. Namun tanaman ini masih bisa ditemukan di Indonesia dan masyarakat kita sudah sangat familiar dengannya. Hal ini cukup mengejutkan para peneliti dari luar negeri. Memang banyak yang belum diketahui dunia mengenai Indonesia.

Di teras-5 kami mempersiapkan drone dan menerbangkannya untuk mendapatkan video pandangan udara seluruh situs. Setelah itu kami beristirahat di sebuah warung, lalu menuruni situs. Di pos tempat kami pertama kali tiba, kami melakukan wawancara video dengan Pak Danny Himan dan Dhani Irwanto. Setelah selesai, hujan turun deras. Saat itu sudah pukul 2 siang. Setelah hujan berhenti, kami pun berkemas, berfoto bersama, dan meninggalkan lokasi menuju tempat makan siang bersama di sebuah rumah makan di pinggir jalan yang menghubungkan antara Cianjur dan Bandung. Di sana saya sempatkan meminta tanda tangan DR. Carmen pada DVD film The Pyramid Code.

Saya ingin membagi sedikit kepada pembaca. Ketika di teras-5, saya sempat melakukan meditas sekitar 15-20 menit, terasa sejuk dan tenang melakukan penenangan diri di puncak gunung seperti ini. Angin bertiup ringan, seraya sayup kicauan burung dan derik serangga di kejauhan. Pemandangan alam yang sangat indah. Sungguh membahagiaan dan membelai hati. Tidak heran jika memang di tempat ini dijadikan tempat keramat dan masyarakat setempat tidak mendukung adanya penggalian arkeologis di tempat ini.

Setelah meditasi saya langsung tergerak untuk segara beranjak menuju satu tempat di sisi teras dimana tampak sususan atau tumpukan batuan andesit yang sangat rapih membentuk dinding tinggi dengan permukaan yang rapih dan kokoh. Civil Engineering adalah bidang saya, dan saya melihat dari pandangan keilmuan saya itu. Jika saya hidup di zaman dimana sekelompok masyarakat kuno membangun tempat ini, maka saya pun akan melakukan hal yang sama. Tumpukan batuan ini menyerupai pondasi! Seluruh gunung padang ini adalah pondasi untuk struktur lain di atasnya! Maka tidaklah kau akan temukan relief pada pondasi. Karena relief biasanya ditemukan pada bangunan utama, bukan pada pondasi yang sewajarnya dibangun untuk dikubur. Kemudian semua yang dikatakan Pak Danny menjadi masuk akal. Adanya semen yang  merekatkan dan pasak yang menguatkan hubungan antara satu batu dengan batu yang lain bertujuan untuk membangun pondasi yang kuat. Kemudian karena adanya bencana besar seluruh struktur runtuh dan memporak-porandakan bebatuan itu. Kemana struktur yang berada di atasnya? Jika struktur itu terbuat dari kayu, maka ia sudah lama hilang. Bila ia terbuat dari batuan yang sama, maka ia adalah batuan yang kita lihat berserak di permukaan. Mungkin suatu saat nanti ada yang bisa melanjutkan penelitian terhadapnya. Saya membicarakan gagasan ini dengan DR Carmen ketika kami bersama di Malang.


Bandung, Jawa Barat

Kika: Evie Casino, Bruce Cunningham, saya, Dixie.
Perjalanan ke Bandung menempuh waktu sekitar 3 jam dari Cianjur. Kami tiba di Bandung pukul 8 malam, menginap di House of Sangkuriang yang sudah dipesan oleh Pak Danny dengan harga spesial. Sungguh perjalanan yang menyenangkan! Semua yang terjadi dalam perjalanan ini adalah divine timing.

Setelah beristirahat, kami bangun pagi-pagi. Saya melihat DR Carmen sudah berada di restoran sambil sibuk degan komputernya. Ia sedang mempersiapkan bahan presentasi yang akan digunakannya pada acara konferensi nanti. Setelah sarapan kami semua dijemput oleh Pak Danny Hilman dan timnya untuk menuju ke Lawangwangi, Dago. Di sana telah dipersiapkan oleh tim "Geo Sharing", acara Ancient Mystery Conference yang tentunya hadir sebagai pembicara utama adalah DR. Carmen Boulter, DR. Danny Hilman Natawidjaja dan Dhani Irwanto. 

Konferensi dimuai pukul 10 pagi. DR. Carmen adalah yang pertama menyampaikan presentasinya. Beliau mengangkat topik yang menjadi fokus utamanya seputar Feminine Consciousness. Entah apakah saya bisa mengulasnya di sini dengan baik, karena topik ini membutuhkan penuturan yang sangat panjang. DR Carmen menampilkan beberapa kisah dari perjalanannya yang terakhir diantaranya adalah Mesir, Bosnia, dan Mexico.

Yang paling menarik adalah mengenai penelitiannya di situs Hawara, Mesir baru-baru ini. Menggunakan teknologi satelit dan software canggih terbaru, dapat dipetakan dengan cukup akurat kondisi di bawah tanah. Dan dari data yang terkumpul dapat dibuatkan gambar serta video 3D dari situs tersebut, di atas dan di bawah tanah. Di sana ia menemukan petunjuk kuat adanya kompleks terowongan panjang berliku disertai banyak ruangan-ruangan yang berukuran sangat besar dari mulai sebesar rumah hingga berkali lipat lapangan bola. Kompleks terowongan dan ruangan itu tidak satu, tapi dua, dan terbenam jauh di dalam tanah/gurun. Tepatnya di Hawara. Ini adalah temuan yang sangat penting. DR Carmen telah 8diundang 28 interview TV dan radio karena temuannya ini. Dan temuan ini akan masuk ke dalam film terbarunya nanti. 

3D Video Animation dari situs Hawara, Mesir. Copyright (c) DR Carmen Boulter.
Tampak 2 lapis kompleks terowongan dan ruangan yang ditunjukkan oleh warna biru dan merah. Komplek biru berada di atas, merah berada di bawah dan berusia jauh lebih tua.
Di atas permukaan terdapat pyramid yang terbuat dari batu tanah liat.


Metode pemindaian canggih terbaru yang digunakan DR Carmen pada situs Hawara, Mesir juga ditawarkan kepada Pak Danny untuk digunakan memindai situs Gunung Padang. Namun masih perlu dilakukan pembicaraan lanjutan yang serius mengenai pendanaannya. Jika memang ada dermawan atau lembaga yang menanggapi positif, dapat menghubungi saya.

Yang menjadi garis bawah dari penelitian DR Carmen adalah bahwa adanya peradaban masa lalu sebelum zaman es mencair, pada saat dan sebelum Younger Dryas, suatu dunia yang sangat bebeda sebelum semuanya musnah karena banjir besar sekitar 12,800 tahun yang lalu. Dunia itu juga dikenal dengan isitlah Ante-diluvian world.

Jika anda sudah menonton film The Pyramid Code, atau membaca beberapa tulisan saya sebelumnya, maka anda akan mengerti mengenai siklus presessi (siklus 26,000 tahunan) dan siklus zodiac yang berhubungan langsung dengan tingkat kesadaran manusia yang dilandasi keseimbangan kualitas Feminine dan Masculine pada setiap diri manusia. Peradaban masa lalu sebelum es mencair adalah peradaban yang sempat mengalami siklus tingkat kesadaran yang sangat tinggi dimana terjadi keseimbangan antara kualitas feminine dan masculine. Zaman itu dinamakan dengan zaman emas (Golden Age). Kemudian secara alamiah mengalami penurunan ke zaman Perak (Silver Age), lalu zaman perunggu (Bronze Age) dan terakhir adalah zaman besi atau zaman kegelapan (Iron Age, atau Dark Age). Kita berada di zaman besi, yang baru saja beranjak naik ke zaman perunggu.


Penurunan tingkat kesadaran itu berhubungan langsung dengan menurunnya atau terpisahnya kualitas feminine dari masculine pada setiap manusia sehingga manusia kehilangan kualitas feminine-nya, menjadikan manusia hidup di dalam masyarakat patriarki. Saya sangat berharap anda sudah pernah membaca artikel-artikel saya sebelumnya untuk bisa mengerti apa yang saya tuliskan di sini. Atau akan lebih baik bila sudah menonton film The Pyramid Code itu

Lalu bagaimana kehidupan peradaban di masa zaman emas itu? Mereka adalah masyarakat matriarki. Masyarakat matriarki bukanlah masyarakat yang didominasi oleh perempuan, namun terjadi keseimbangan antara kualitas feminine dan masculine.

Dari segi kemampuan fisik/teknik, kita bisa lihat bagaimana peninggalan mereka yang berupa bangunan-bangunan yang terbuat dari bebatuan besar yang tidak mungkin kita mampu membuatnya dengan kemampuan kita saat ini. Keseimbangan antara feminine dan masculine menjadikan manusia memiliki 360 indera, yang diwujudkan pada simpul-simpul chakra mayor dan chakra minor yang aktif sempurna. Mungkin tak terbayangkan dengan baik oleh kita, namun bisa saya gambarkan, mereka adalah manusia yang memiliki hubungan batin langsung dengan seluruh alam semesta. Hubungan manusia dan Tuhan yang langsung tanpa perantara. Makro kosmos dan Mikro kosmos terjalin transparan, langsung, secara alamiah. Melihat musik, mendengar lukisan, berbicara melalui rasa. Ibu adalah bumi, dan ayah adalah langit. Masa lalu dan masa depan tidaklah signifikan.

Kemudian di suatu ketika mereka mengetahui akan datangnya bencana besar. Sebuah komet akan menabrak bumi tepat di atas es yang menutup hampir seluruh daratan di bumi sebelah utara (northern hemisphere) bermil-mil tebalnya. Es mencair seketika dalam waktu sangat singkat (dalam hitungan hari), membanjiri seluruh permukaan bumi. Mereka menerima pertanda itu dan berusaha menanamkan benih-benih pengetahuan di seluruh penjuru bumi agar manusia-manusia baru dapat belajar darinya dan mengingat masa lalu mereka. Mereka hanya punya waktu kurang dari 100 tahun untuk melakukannya. Dan mereka melakukannya. Mereka menyebar ke seluruh penjuru bumi dan membangun struktur-struktur raksasa dari material yang tak akan hancur oleh waktu puluhan ribu tahun ke masa depan. Batuan.

Setelah itu mereka kembali dan menunggu. Bencana pun terjadi secara alamiah. Bencana yang sudah dinantikan dan diantisipasi secara spiritual. Sebagian besar dari mereka pun musnah. Namun pengetahuan mereka sudah tertanam di benih-benih yang akan mengisi manusia di masa yang akan datang. Sekarang.


Bersambung ke Part 2


==================
ER

Terima kasih kepada teman-teman Human Earth; Hilmy Hasanuddin, Evie Casino dan Chris Yusuf atas foto-foto yang saya muat di artikel ini. Persahabatan dari batin yang tidak akan pudar oleh waktu.

Terima kasih kepada tim Gunung Padang, yang tidak bisa saya sebutkan semua. Di antaranya adalah kang Uce dan kang Cecep, serta tentunya Danny Hilman Natawidjaja

Kika: Saya, Hilmy, Chris, Evie


















==================

Penyampai Pesan
Oleh: Opay
De Grote Postweg

Berselang waktu hadirkan kita bertemu
Genapi takdir berganti penuhi arti

Memikul sadar dari sang Satu
Resapi makna 'tuk buka diri

Parau tangis hiasi hari
Serapah perih mencabik hati
Geming sabar ku menanti

Akulah satelit yang arahkan liarmu
Kaulah ombak yang terus mengikis karangku
Gores luka membujur tubuh
Punyaku bukanlah milikku
Biarkan saja agar segera berlalu

Kerak gelap pun memudar
Seberkas terang silaukan visi
Ratna sejati berbinar
nyata indah berseri

Tak apa kau acuh peduli
Sungguh pun tak mengerti
Tak sesal ku menyikapi
Kar'na kau berikan damai berseri


1 komentar:

Bambang Wijanarko mengatakan...

Mas eri.....saya agak bingung nih dalam hal hubungannya dg nabi Nuh. Kalau banjir besar itu adalah banjir nabi nuh, yg artinya masyarakat nuh adalah masyarakat yg pengertian spiritualnya tinggi. Mengapa mereka menentang dakwah nabi nuh ya ???