Jumat, 19 Agustus 2016

A Sufi's Diaries: Book 4






Diary 22:
Self-Actualization

(Aktualisasi Diri)

Saya sudah menulis mengenai bagaimana mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Dimana kondisi tersebut akan membuka pandangan seseorang akan suatu kebenaran yang mungkin selama ini selalu tertutupi. Kemudian menjadi manusia yang lebih ikhlas dan menerima (accept) kondisi diri apa adanya, seperti juga menerima Tuhan apa adanya. Merdeka. Hati menjadi tenang dan damai.

Peningkatan kesadaran tidak hanya memandu seseorang pada pencapaian kedamaian hati. Tetapi juga mengenali diri sendiri.

Bagian penting yang juga sebentuk kebenaran yang selama ini mungkin tertutup adalah diri sendiri. Kemampuan diri, siapa dirimu sesungguhnya, apa potensimu yang dominan, apa kepribadianmu yang kuat.

Diakui atau tidak, banyak orang yang tidak mampu atau tidak berani mengakui siapa dirinya. Jika pun tersadar siapa dirinya yang sebenarnya, masih ada keraguan mau kemana atau harus bagaimana selanjutnya.

Manusia hidup di dua dunia; fisik dan non-fisik. Akan 'sempurna' bila keduanya seimbang secara optimal. Bukan hanya seimbang saja, tetapi optimal. Bisakah?

Anda harus memiliki self-esteem atau menghargai diri sendiri dengan segala kelebihan anda. Anda adalah manusia unik. Ada nilai tertentu yang tidak dimiliki manusia lainnya. Akui itu dan hargailah itu dengan sungguh-sungguh.

Hargai juga keleblihan orang lain, karena masing-masing dari mereka juga unik.
Maka, cooperate rather than compete.

Lalu, eksplorlah diri anda. Sejauh mana anda dapat mengembangkan bakat / kelebihan anda yang unik itu? Bagaimana manfaatnya untuk anda dan sesama? Lakukanlah. Aktualisasikan!

Sebagian besar manusia membutuhkan motivasi dalam hidup. Dalam pekerjaan sebagai karyawan, motivasi yang harus ia dapatkan tentunya adalah upah/gaji, bonus, cuti, tunjangan, dll. Ini adalah motivasi yang umum. Motivasi materialistis.

Seorang yang memiliki Self-Actualization tidak membutuhkan motivasi. Dan tidak ada seorang pun yang mampu menahannya atau menjatuhkan niat serta geraknya. Tujuannya adalah demi kebaikan sesama.

Seorang dengan Self-Actualization akan menjadi inspirasi bagi yang lain, bahkan bagi seluruh umat manusia. 
"Greatness" (keagungan) adalah yang secara alamiah dicapainya dengan hasil kerjanya yang bermanfaat. The un-sung Hero.
Jasanya akan selalu dikenang.

Seorang tidak butuh kaya raya untuk mencapai greatness. Namun tidak menutup kemungkinan kekayaannya adalah hasil alamiah dari aktualisasi dirinya itu.

So, who are you?
Accept, explore, do it, actualize!







Diary 23:
Coconut Tree
(Pohon Kelapa)

"Learning spirituality is like climbing a coconut tree. The student is the climber, the teacher is the tree." 
(Mempelajari spiritual seperti memanjat pohon kelapa. Murid adalah si pemanjat, dan guru adalah pohon).

Memanjat pohon kelapa secara konvensional membutuhkan takik pada batang pohon. Si pemanjat menggunakan benda tajam seperti kapak untuk membuat potongan-potongan atau sayatan-sayatan pada batang pohon yang digunakannya sebagai topangan kaki.

Satu takik di buat pada batang pohon di sisi kiri, untuk menopang kaki kirinya. Lalu takik kedua dibuat lebih tinggi di sisi kanan untuk menopang kaki kanannya - yang secara bersamaan menaikkan tubuhnya lebih tingg pada batang pohon tersebut.

Takik demi takik dibuat di sisi kiri dan kanan dari bawah sempai ke atas yang membawa si pemanjat semakin tinggi hingga mencapai bagian paling atas pohon dan menggapai buah kelapa. Buah kelapa inilah tujuan si pemanjat. Buahnya berwarna hijau, berisi daging kelapa yang lembut dan lezat, serta airnya yang menyegarkan.

Seorang yang mempelajari spiritual bagaikan si pemanjat. Ia menaiki batang pohon kelapa sampai kepada buahnya. Pohon ini sangat tinggi dan semakin tinggi, semakin kuat anginnya, semakin berat cabarannya, maka harus semakin kuat pula pijakan dan pendiriannya agar ia tidak terjatuh ke bawah.

Guru spiritual bagaikan pohon kelapa. Semakin tinggi pohon, semakin tinggi pula ilmu sang guru - untuk menyimpan rahasia atau ilmu pamungkasnya. Buah istimewa yang akan dibawanya mati, atau hanya akan diberikan kepada seorang teristimewa yang mampu menggapainya.

Si murid akan melukai dan memberikan bekas pada batang pohon yang dibutuhkannya untuk memanjat. Guru akan membiarkan muridnya melukai dirinya demi keberhasilan si murid.

Perjalanan spiritual sangat berat. Ilmu hanya dapat disampaikan melalui cinta. Dari cinta ada kesungguhan, ketulusan, kepasrahan dan keikhlasan.

Beruntunglah seseorang bila sudah dipertemukan dengan guru hidupnya.
Hargai pengorbanannya, amalkan ilmunya.







Diary 24:
Sekala & Niskala

Saya terpana, duduk tak dapat berkata-kata, kala saya mendapati kata ini; "Sekala dan Niskala", dan menyudahi membaca sebuah buku tebal yang menjelaskan apa makna dibalik dua kata itu. Bagaikan terkena mantera keramat, berada di tempat dimana kedua kata itu berasal.

Sekala artinya yang terlihat, Niskala artinya yang tak terlihat. Bagi masyarakat Bali, keduanya sama bobotnya. Tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya. Keduanya sama-sama penting.

Sekala berkedudukan sama dengan Niskala. Penduduk asli Pulau Bali menjalankan keduanya secara baik dan seimbang dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa berada di tengah-tengah mereka walaupun hanya sebentar. Energi keseimbangan yang sempurna.

Halaman demi halaman saya baca dengan perlahan, sambil saya menyaksikan dan mengingat perilaku keseharian mereka dengan rasa takjub dan syukur. Kesadaran manusia akan keutuhan alam tanpa perbedaan walaupun yang satu terlihat dan yang lainnya tidak terlihat. Mereka bergerak bersama keduanya. Tidak ada keputusan atau tindakan diambil bila kedua sisi tak seimbang.

Mereka melihat, merencanakan, melakukan, memutuskan apa pun bersama seluruh alam. Bersama para dewa, bersama Sang Maha.

Bisakah masyarakat luas di zaman sekarang seperti mereka?

http://human-earth.blogspot.co.id/2014/06/sekala-niskala.html






Diary 25:
The Subtle Whisper

(Bisikan Halus)

Kejadian 1:
Sebuah takikan telah dibuat oleh seorang sahabat pada saya. Saya mencintainya dan membiarkannya menyaksikan rahasia hidupnya membuka di hadapannya. Segenap rasa yang baik saya sampaikan padanya, dan keesokan harinya ia memberi kabar bahwa cabaran yang tengah dihadapinya berangsur baik.

Kejadian 2:Takik lainnya dibuat dari seorang sahabat dari Bali yang melayangkan email pada saya melaporkan suatu kejadian, yang inti pesannya pada saya adalah, "Memang benar bahwa meditasi yang baik adalah meditasi yang diam, kosong, tanpa tujuan tertentu atau pengharapan akan hasil apa pun."

Kejadian 3:Sebuah pertanyaan ditujukan pada saya, "Bagaimana agar suatu pesan yang dirasakan tidak berubah menjadi persepsi?"

----------

Tiga kejadian di atas terjadi dalam kurun waktu yang berdekatan, hanya dalam dua hari terakhir ini. Saya ingin menggabung semua kejadian di atas untuk menyampaikan sebuah pesan, yaitu:


"Bahasa Rasa"

Alam berbicara kepada kita melalui bahasa yang hanya dimengerti oleh hati kita. Bahasa itu adalah bahasa rasa. Datangnya sangat tidak diduga, dan sangat halus (subtle), seperti bisikan yang tidak terdengar.

Bila kita sudah terlalu terbiasa dengan segala sesuatu yang tampil kasat/kasar, maka sebentuk rasa halus tidak akan kita tanggapi. Tetapi bila kita sudah membiasakan diri dan melatih ketajaman indera hati kita, maka kita akan mampu merasakan bisikan halus bahasa alam itu.

Alam selalu berbicara dengan kita. Seperti rasa tenang, rasa resah, rasa ingin bertemu seseorang, rasa tidak ingin keluar dari rumah, dan lain-lain.

Kiat-kiat yang harus dipahami dan dilakukan adalah:

  1. Hindari mengartikan pesan tersebut. Karena pengartian akan menjadikannya persepsi. Persepsi adalah menerka-nerka atau menebak-nebak dengan bermodalkan pikiran yang terbatas atau yang sudah terpolusi oleh emosi, pendapat orang lain, kejadian lain, dll. Maka, janganlah dipikirkan.
  2. Pilihannya hanya dua, yaitu Lakukan atau tidak lakukan. Hasilnya tidak relevan. Hasil adalah misteri yang akan terungkap kemudian. Tujuannya pun tidak relevan karena nanti akan terungkap dengan sendirinya.
  3. Berserah diri secara total, tidak berharap, dan ikhlas akan apa pun yang terjadi atau yang akan terjadi. Kembalikan semua kepada Sang Pemberi Pesan itu. Kembalikan ke alam, biarkan alam yang bekerja. Inilah yang sering kita dengar dengan "Selaras" dengan alam.
  4. Selalulah bersikap positif. Berbahagialah. Semuanya baik-baik saja.

----------

Seperti pada Kejadian 1 di atas, jika masalah yang anda hadapi terlalu sulit untuk ditangani sendiri, anda membutuhkan teman. Yang anda butuhkan hanyalah energi yang baik. Tujuan, harapan, cara, tidak relevan. Rasamu adalah doamu.


Energi baik dari temanmu digunakan untuk mengangkat rasamu dari LOW, ke tempat yang lebih tinggi, dimana kamu menjadi TENANG dalam menghadapai masalahmu.

http://human-earth.blogspot.co.id/2015/05/the-mystery-of-subtleties.html






Diary 26:
Accept God As Is
(Menerima Tuhan Apa Adanya)

Kita biasa mendengar, "menerima pasangan apa adanya."
Biasanya "apa adanya" ini diucapkan kepada sesama manusia. Tidak pernah kita mendengar kata yang sama digunakan untuk Tuhan.

Tetapi ini adalah pesan yang penting untuk anda, para pencari di jalan spiritual. Butuh perenungan mendalam dalam memahaminya. Apa yang dimaksud dengan "menerima Tuhan apa adanya"?

Cukup banyak orang yang melakukan perjalanan spiritual menganggap atau berharap menerima atau merasakan yang baik-baik saja. Saya menjelaskan kepada mereka bahwa jika kita membuka diri - membuka hati kepada Tuhan, maka bersedialah menerima energi baik dan buruk secara bersamaan. Kita tidak bisa memilih hanya yang baik saja. Baik dan buruk berasal dari Tuhan.

Justru di sinilah kita mengasah indera kita untuk mengenali energi positif dan energi negatif. Dengan mampu merasakan kedua sisi itu, kita pun akan mampu memposisikan diri di tengah dan mencapai keseimbangan.

Kemudian saya pun menekankan bahwa Tuhan adalah satu. Tuhan adalah Singular. Rasa positif dan negatif yang berasal dari Zat yang Satu itu dapat kita murnikan keduanya.

Mungkin anda bingung. Kita sudah paham memurnikan yang negatif. Tetapi memurnikan yang positif?

Ya! Kedua sisi rasa itu berasal dari Tuhan juga. Yang baik dan yang buruk, yang positif dan yang negatif. Bila kita selalu memurnikan yang negatif, yang positif pun harus diperlakukan sama.

Bagaimana memurnikan yang positif?
Memurnikan yang positif adalah dengan SADAR bahwa sesuatu itu bukan milik kita.
Jika kita menerima rizki, bersyukurlah, nikmati rasa bahagia itu. Lalu sadarlah bahwa itu bukan milik kita. Bagikanlah kebahagiaan ini untuk sesama.

Bila anda mensyukuri yang positif, maka anda juga mensyukuri yang negatif.

Jika anda mendapat kemalangan atau peristiwa yang membuat anda sedih, marah, dan emosi negatif lainnya, bersyukurlah karena anda sudah pasti mampu menghadapinya. Peristiwa itu adalah pelajaran. Petik hikmah darinya. Inilah memurnikan yang negatif. Dan jadilah manusia yang lebih mulia bagi diri sendiri dan sesama.

Jika anda menginginkan Tuhan yang hanya memberikan kebaikan saja dan menolak yang buruk, maka anda men-dua-kan Tuhan. Tuhan anda bukan Tuhan yang Satu.

Maka, murnikan, selaraskan seluruh rasa, dan itulah energi yang singular. Di situlah baru anda bisa merasakan DIA yang Nyata.
Capailah kesadaran ini.

Inilah yang dimaksud dengan menerima Tuhan apa adanya.
Bukan Tuhan yang anda pilah-pilah sesuka hati. Bukan Tuhan yang anda kurung di dalam kerangka logikamu yang sempit.
Bukan Tuhan yang kau penjarakan oleh dogma dan doktrinmu.

Bebaskan DIA! Akuilah Dia sebagaimana Dia.
Terimalah Tuhan apa adanya!

Hanya dengan berada di pemahaman inilah anda layak untuk bersaksi bahwa Tuhan itu Satu.

Hanya dengan berada di pemahaman inilah anda layak untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Tuhan.






Diary 27:
The Dandy
(Si Pesolek)

Sepasang remaja muda-mudi saling mencinta. 
Awalnya mereka hanya saling pandang, lalu bertegur sapa. Berkenalan dan mulai saling berbincang di sela-sela kegiatan sekolah.

Kedekatan hubungan pertemanan berkembang menjadi romantis dan saling merindui. Mereka adalah sepasang kekasih.

Si pemuda bersiap untuk mengunjungi kekasihnya. Ia mandi dengan bersih, mengenakan pakaian yang baru dicuci bersih. Wangi perfume terbaik menjadi aroma tubuhnya yang baru. Rambut dipotong rapih, kelimis gel turut menjamin tatanan mahkotanya yang menawan itu. Wajah berseri, sangat tampan. Sempurna semuanya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dialah sang pesolek.

Si gadis pun bersiap untuk menerima sang kekasih. Ia mandi bersih, mengenakan gaun anggun disertai wangi perfume memikat hati. Tatanan rambutnya sangat indah bagaikan seorang putri raja. Wajah berseri, bersinar, sangat cantik. Sempurna semuanya dari ujung rambut sampai ujun kaki. Dialah sang pesolek.

Menginjak dewasa, keduanya sudah bekerja dan berpenghasilan baik. Lebih dari sekedar cukup. Masing-masing tinggal di rumah yang indah dengan mobil yang bagus.

Cinta mereka berlanjut dan semakin berkembang. Mereka selalu tampil maksimal bila akan berjumpa. Tampan, cantik, berseri, wangi dan menawan bagaikan pangeran dan putri. Mereka adalah pesolek.

Mereka saling menerima apa adanya. Hubungan cinta semakin serius dan mereka pun menikah. Dari tulusnya cinta suci, lahirlah anak-anak mereka. Penuh cinta, penuh kasih.

----------

Para teman-teman seperjalanan spiritual, setelah kalian mencapai keseimbangan dan menerima Tuhan apa adanya, akan ada suatu masa kau merasakan Dia merindukanmu. Sebuah kerinduan yang sangat dalam, yang selama ini tidak pernah kau perdulikan.


Dia adalah The Beloved.
Dia mencintai dan mengasihimu. Lebih dari itu, selayaknya kekasih, Dia teramat merindukanmu.

Hidupmu berubah. Kau akan menjadi Pesolek di hadapan-Nya.
Kau akan berusaha menjadikan dirimu mulia. Kau bersihkan hatimu, kau poles jiwamu hingga bersinar oleh cahaya cinta kasih-Nya.

Kau muliakan setiap ucapan dan perangaimu bagaikan mengenakan pakaian dan wewangian terbaik. Kau adalah manusia tampan dan cantik di hadapanNya.

Dia adalah Sang Kekasih. Dialah The Beloved.
Dialah yang kau cari. Dan Dia pun mencarimu.
Dialah yang kau rindukan. Dan Dia pun yang merindukanmu.
Cinta-Nya padamu tak terkatakan.
Sehari-hari bagaikan di dalam dekapan ibu yang sangat menyayangi anaknya.

Apa lagi yang kau inginkan? Tidak ada. Hanya Dia.

Aku adalah si Pesolek. Jadilah Pesolek bersamaku. Kutunjukkan jalan itu. Tapi kau sendiri yang harus melangkah.

Shanti... Shanti... Shanti...

http://human-earth.blogspot.co.id/2016/05/the-pianist.html








Diary 28:
Humility in Nobility

(Kesederhanaan dalam Kemuliaan)

Orang pada umumnya beranggapan bahwa seorang pengelana spiritual memiliki kehidupan yang sederhana, cita-citanya sudah tak penting lagi, tanpa ambisi, cahaya hidupnya pudar, diam, menyendiri. Benarkah?

Sebagian besar orang menggunakan kerangka berpikir materialistis untuk menilai orang lain. Kerangka materialis adalah bahasan untuk hanya yang berwujud, dapat terlihat, dan dapat disentuh. Mereka tidak mengetahui apa yang mereka tidak melihatnya.

Tuhan tidak terlihat. Mereka yang menilai orang lain dalam kerangka material adalah mereka yang menilai orang lain tanpa mengakui keberadaan sesuatu yang tak terlihat, yaitu Tuhan. Maka selamanya mereka tidak akan mengetahui kebenaran yang hakiki.

Pelaku spiritual yang baik mengakui, menerima, dan mensyukuri keberadaan material dan non-material, yang terlihat dan tidak terlihat, yang berwujud dan yang tak berwujud. Mereka menerima alam ini secara utuh. Menerima alam ini apa adanya. Mereka menerima Tuhan apa adanya.

Seseorang mengeluh kepada saya, "Mengapa saya tidak diberi kesempatan itu seperti dia?"

"Kesempatan itu" adalah sesuatu yang tak tampak. Orang tidak akan mengakui keberadaan "itu" sebelum mendapatkannya. Orang tidak mensyukuri sesuatu tidak dilihatnya / dialaminya.

Setelah berusaha untuk mendapatkan misal A, namun tidak mendapatkan A yang diusahakannya itu, maka anda harus sadar bahwa ada sebentuk konstruksi alam tempat A berada yang tidak melibatkan anda di dalamnya. Apakah itu karena memang anda tidak cocok berada dalam satu sistem dengan A atau memang ada sesuatu yang harus anda penuhi untuk bisa berada di dalam konstruksi tersebut.

Apa pun itu yang terjadi, yang tak tampak itu, sedang dan sudah terjadi. Sesuatu terjadi sejak anda memikirkannya. Terwujud atau tidak terwujudnya sesuatu tersebut adalah hal yang harus diterima dengan positif, bahkan disyukuri. Karena alam bekerja dengan prinsip kesesuaian, dengan hanya menempatkan kepingan puzzle ke tempatnya yang cocok / pas.

Menerima dan mensyukuri yang tak tampak adalah cara berpikir mereka yang menempuh jalan spiritual. Lalu apakah kerangka berpikir ini meredupkan semangat hidupnya? Mematikan cita-citanya? Tidak!

Jika anda pernah mempelajari "Law of Attraction", maka anda pernah mendengarkan bagaimana cita-cita itu dicapai, anda diminta untuk mem-visualisasikannya, merasakannya, fokus, bahkan mentargetkannya dengan detail. Alam akan bekerja mewujudkannya.
Ini yang kita sebut "manifestasi".

Akan tetapi, bagi mereka pengelana spiritual yang sudah menerima Tuhan apa adanya, akan melihat banyak pintu yang bisa dibuka. Tidak hanya satu. Bahkan dinding pun sudah tidak ada. Pikiran dan jiwa yang bebas tanpa batas.
Keinginan spesifik tidak relevan lagi karena cinta Tuhan datang dari semua arah.

Ada joke begini:
Sifat manusia yang menginginkan sesuatu yang spesifik, membuka satu pintu saja dan fokus mati2an mendapatkannya. 
Sedangkan Tuhan dengan rizkinya yang berlimpah ingin masuk dari pintu lainnya. Tidak hanya satu, tetapi dari banyak pintu. Tetapi tidak bisa karena hanya satu pintu yang dibuka olehnya.
Setelah sekian lama orang tersebut menyerah karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, ia mengeluh dan menyalahkan Tuhan, "Mengapa saya tidak diberi kesempatan untuk mencapai cita-cita saya itu?"
Atas ucapan hamba-Nya itu, Tuhan pun berkata, "Saya ingin memberikanmu rizki berlimpah, tapi pintu-pintu rizki kau tutup sendiri. Dan setelah kau menyerah, Aku pula yang kau salahkan."

Apa yang terjadi bila semua pintu dibuka, dinding runtuh di sekelilingmu? Tidak ada lagi yang spesifik. Kau menemukan Inti dari semua keinginan, yaitu Kebahagiaan. Cara dan waktu spesifik tidak lagi relevan karena kau menyelaraskan dirimu secara utuh kepada Tuhan. Kau berencana, melakukan, menentukan bersama Tuhan.

Selanjutnya, kebahagiaan yang hakiki datang dari Kemuliaan hati. Bahagia itu datang bila seluruhnya bahagia. Maka kau akan bekerja di dunia untuk kemuliaan diri dan orang lain.

Bagaikan tumpeng, kau berada di pucuk tumpeng. Kau tidak butuh apa-apa selain sepucuk nasi kuning tanpa lauk. Lauk-pauk dan keindahan duniawi kau anugerahkan bagi mereka yang membantumu berada di puncak kearifan.
Tanpa mereka kau tidak akan berada di sini. Dan tanpa dirimu tidak ada yang memuliakan mereka. Semuanya satu dalam kemuliaan.

Maka, syukurilah semua! Berusahalah dengan maksimal! Buka semua pintu! Belajarlah, jadilah manusia berilmu, karena dari pengetahuan akan ada kesadaran.

Kau akan menjadi orang yang sangat sederhana dan bersahaja tetapi juga orang yang sangat kaya raya akan harta dan luas-bebasnya hatimu.

Kau memiliki segalanya, tetapi kau juga tidak memiliki apa pun. Karena kau sadar semua yang ada di dunia ini bukan milikmu.

Kau adalah manusia mulia yang sederhana.










---------------
Erianto Rachman


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Pak Erianto Rachman yang saya hormati.
Saya ingin bertanya dan sedikit bercerita lagi.

Apakah masih relevan cita-cita duniawi bagi seorang spiritualis?

Saya tidak tau menggolongkan diri saya seorang spiritualis atau bukan? yang jelas yang ingin saya temukan adalah mencari arti hidup saya.

Saya mulai bercita-cita menjadi musisi/anak band sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Lebih tepatnya bercita-cita menjadi vokalis band sih, bukan musisi, karena saya tidak terlalu mahir memainkan alat musik, memainkan gitar hanya sekedar untuk menulis (menciptakan) lagu.
Seorang vokalis & penulis lagu, apakah masih masuk kategori musisi? hehe..

Bagi saya cita-cita menjadi vokalis adalah panggilan jiwa saya. Alasannya karena itu kebutuhan hati saya, sesuatu yang saya pikir akan membuat saya merasa puas. Sejak kecil saya selalu dikucilkan, saya dianggap lemah, dan kata-kata saya seperti tak didengar dan tak dianggap, saya selalu jadi anak bawang yang tak diperhitungkan. Itulah alasan saya memilih cita-cita sebagai vokalis, agar suara saya didengar, agar saya dianggap ada. Kebetulan kakak saya dulu vokalis kampus, jadi masih ada sedikit darah musikal.

Waktu berlalu, mimpi itu tak kunjung menjadi nyata. Belasan tahun atau sudah lebih dari separuh usia dalam mempertahankan cita-cita yang satu, jatuh & bangkit lagi, tak terhitung berapa kali sudah mengubur & menggali mimpi itu lagi. Hingga akhirnya saya memutuskan tak ingin mengubur mimpi lagi, karena saya tau pasti nanti akan saya gali lagi, jadi saya putuskan untuk melepaskan, bukan menguburnya kembali. Melepaskannya, merelakannya, biarlah semua berjalan apa adanya, walaupun sebenarnya rasa itu masih ada!

Setelah keputusan saya untuk melepaskan mimpi saya itu, tak lama kemudian saya bertemu blog Yth.Pak Erianto Rachman, HUMAN EARTH ini, waktu itu, hingga saya ikuti sampai sekarang. Mungkin jalannya memang seperti itu, saya butuh pencerahan dulu, untuk mengetahui arti hidup saya.

Jadi, bagaimana menurut Yth.Pak Erianto Rachman, tentang cita-cita atau passion atau panggilan jiwa saya ini? Apakah gak penting? Apakah dijauhi atau dihilangkan sama sekali? Apakah diganti dengan cita-cita yang lain, yang tentu takkan sama rasanya? Apakah saya memang tidak pantas untuk cita-cita saya itu? cita-cita yang saya fokuskan hanya satu itu dalam waktu belasan tahun lamanya, dan tak berubah.
Dan apakah puluhan lagu yang saya buat, menjadi hasil karya yang sia-sia? Padahal tak semua orang mempunyai potensi untuk mencipta lagu.

Itu saja. Mohon masukannya dan pencerahannya dari Pak Erianto Rachman yang saya hormati. Terima kasih.
Salam.